Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian

oleh Wibowo Tjokro Tunardy S.H., M.Kn.

Untuk mengetahui apakah suatu perjanjian adalah sah atau tidak sah, maka perjanjian tersebut harus diuji dengan beberapa syarat. Pasal 1320 KUH Perdata menentukan empat syarat untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu:

  1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
  2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
  3. suatu hal tertentu;
  4. suatu sebab yang diperkenankan.

Syarat pertama dan kedua disebut sebagai syarat subyektif karena kedua syarat tersebut harus dipenuhi oleh subyek hukum.  Sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut sebagai syarat obyektif karena kedua syarat ini harus dipenuhi oleh obyek perjanjian. 1Komariah, Hukum Perdata, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2002, Hlm. 175-177.

Tidak dipenuhinya syarat subyektif akan mengakibatkan suatu perjanjian menjadi dapat dibatalkan. Maksudnya ialah perjanjian tersebut menjadi batal apabila ada yang memohonkan pembatalan. Sedangkan tidak dipenuhinya syarat obyektif akan mengakibatkan perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum. Artinya sejak semula dianggap tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan 2Ibid..

Berikut ini penjelasan dari syarat-syarat tersebut:

Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Maksudnya ialah para pihak yang terlibat dalam perjanjian harus sepakat atau setuju mengenai hal-hal pokok dari perjanjian tersebut. 3P.N.H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2009, Hlm. 334. Pasal 1321 KUH Perdata menentukan bahwa kata sepakat tidak sah apabila diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.

Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Pasal 1330 KUH Perdata menentukan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan, kecuali undang-undang mnenetukan bahwa ia tidak cakap. Mengenai orang-orang yang  tidak cakap untuk membuat perjanjian dapat kita temukan dalam Pasal 1330 KUH Perdata yaitu:

  1. Orang-orang yang belum dewasa;
  2. mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
  3. orang-orang perempuan yang telah kawin. Ketentuan ini menjadi hapus dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Karena Pasal 31 undang-undang ini menentukan bahwa hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang dan masing-masing berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

Suatu hal tertentu

Mengenai hal ini dapat kita temukan dalam Pasal 1332 dan 1333 KUH Perdata. Pasal 1332 KUH Perdata menentukan bahwa:

Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian.

Sedangkan Pasal 1333 KUH Perdata menentukan:

Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya.

Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung.

Suatu sebab yang diperkenankan

Maksudnya ialah isi dari perjanjian tidak dilarang oleh undang-undang atau tidak bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum (Pasal 1337 KUH Perdata). Selain itu Pasal 1335 KUH Perdata juga menentukan bahwa suatu perjanjian yang dibuat tanpa sebab atau dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang adalah tidak mempunyai kekuatan hukum.

Referensi

Referensi
1 Komariah, Hukum Perdata, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2002, Hlm. 175-177.
2 Ibid.
3 P.N.H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2009, Hlm. 334.

6 thoughts on “Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian”

  1. Maaf pak saya ingin bertanya jika salah satu pihak tidak menerima copy isi perjanjian, bagaimana hukum perjanjian tersebut?

    Reply
  2. Terimakasih atas penjelasannya. Akan tetapi pembaca mohon konfirmasi : andai kata suatu jual beli misalnya saja atas bidang tanah yang menjadi obyek jual beli merupakan bidang tanah yang diklaim penjual sebagai miliknya atas dasar dokumen kepemilikan yang terindikasi hasil pemalsuan, masuk kategori mana di diantara keempat syarat tersebut. Pemalsuan atau penipuan masuk kategori pidana.

    Reply

Leave a Comment