Pada pembahasan sebelumnya telah diuraikan bahwa UU Perkawinan (Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan) tidak membahas secara rinci mengenai alasan-alasan untuk menuntut pembatalan perkawinan. Sehingga beberapa ketentuan dalam KUH Perdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/Burgerlijk Wetboek) mengenai pembatalan perkawinan masih berlaku. Demikian pula mengenai akibat hukum dari pembatalan perkawinan, UU Perkawinan tidak memberikan uraian yang mendalam. Sehingga akibat hukum dari pembatalan perkawinan menurut KUH Perdata dipandang masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU Perkawinan.
Akibat-akibat dari pernyataan batalnya perkawinan diatur dalam Pasal 28 UU Perkawinan serta Pasal 95 – Pasal 98 KUH Perdata yang pada pokoknya dapat dibedakan menjadi: 1R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga (Personen en Familie-Recht), Surabaya: Airlangga University Press, 1991, Hlm. 38.
- Adanya itikad baik dari suami dan istri;
- Hanya salah satu pihak yang beritikad baik;
- Tidan adanya itikad baik dari suami dan istri.
Adanya itikad baik dari suami dan istri
Apabila perkawinan didasarkan pada itikad baik dari suami dan istri, maka perkawinan tersebut tetap mempunyai akibat hukum yang sah bagi suami dan istri, serta terhadap anak-anak mereka. 2Ibid., Hlm. 38 Sehingga putusan hakim mengenai batalnya perkawinan hanya mempunyai akibat hukum setelah pembatalan tersebut. Sedangkan sebelum adanya pembatalan, perkawinan tersebut tetap dianggap sebagai perkawinan yang sah. Putusan mengenai batalnya perkawinan dipandang sebagai pembubaran perkawinan karena perceraian atau pembubaran perkawinan setelah adanya pisah meja dan tempat tidur. 3Ibid.
Untuk harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan hingga putusan batalnya perkawinan akan dibagi dua apabila sebelum melangsungkan perkawinan para pihak tidak membuat perjanjian kawin. Sedangkan terhadap anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut dianggap sebagai anak-anak yang sah. Hal yang sama juga berlaku terhadap pengesahan anak luar kawin dan adopsi. 4Ibid., Hlm. 38-39.
Hanya salah satu pihak yang beritikad baik
Apabila hanya salah satu pihak yang beritikad baik, maka perkawinan tersebut hanya mempunyai akibat-akibat yang sah dan menguntungkan bagi pihak yang beritikad baik dan anak-anaknya. Sedangkan bagi pihak yang tidak beritikad baik dapat dibebani biaya, ganti rugi dan bunga. 5Ibid.
Apabila sebelumnya perkawinan dilangsungkan tanpa perjanjian kawin, maka pembagian harta yang diperoleh selama pekawinan hanya berlaku apabila pembagian harta perkawinan tersebut menguntungkan pihak yang beritikad baik. Ini berarti apabila sebelum perkawinan harta kekayaan yang dimiliki oleh pihak yang beritikad baik lebih sedikit dibanding pihak yang tidak beritikad baik, maka dilakukan pembagian harta perkawinan sehingga harta kekayaan pihak yang beritikad baik akan bertambah. Sebaliknya apabila sebelum perkawinan dilangsungkan harta kekayaan pihak yang beritikad baik lebih banyak dibanding pihak yang tidak beritikad baik, maka tidak dilakukan pembagian harta perkawinan. Sedangkan mengenai anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut tetap mempunyai kedudukan sebagai anak-anak yang sah. 6Ibid.
Tidak adanya itikad baik dari suami dan istri.
Apabila perkawinan dilangsungkan tanpa adanya itikad baik dari suami dan istri, maka akibat hukum perkawinan tersebut sama sekali tidak ada. Bahkan keputusan hakim akan berlaku surut sampai pada saat perkawinan dilangsungkan. Pada perkawinan tersebut tidak terdapat persatuan harta perkawinan dan anak-anak yang dilahrikan dianggap sebagai anak-anak luar kawin.
Akibat Hukum Terhadap Pihak Ketiga
Terhadap pihak ketiga, Pasal 28 ayat (2) huruf c UU Perkawinan menentukan bahwa keputusan mengenai batalnya perkawinan tidak berlaku surut terhadap pihak ketiga yang memperoleh hak-haknya dengan itikad baik sebelum keputusan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap.
ijin menambahkan sedikit…
anak-anak yang lahir dari perkawinan yang dibatalkan tersebut tetap berkedudukan sebagai anak sah. dengan demikian, anak tetap menjadi tanggung jawab kedua belah pihak, suami dan istri, kedua orang tua tetap berkewajiban mendidik dan memelihara anak tersebut berdasarkan kepentingan si anak. terhadap anak perempuan, maka ayah kandung berhak pula menjadi wali nikah . dalam hal terjadi kewarisan, maka anak masih memiliki hak waris dari kedua orang tuanya, serta memiliki hubungan kekeluargaan pula dari kedua pihak orang tuanya.