Kedudukan Anak

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) tidak memberikan pengaturan yang mendetail mengenai kedudukan Anak. Pengaturan mengenai kedudukan anak dalam UU Perkawinan hanya terdiri dari 3 Pasal, yaitu Pasal 42 – 44. UU Perkawinan membagi kedudukan anak kedalam dua kelompok, yaitu:

  1. Anak yang sah, yaitu anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah.
  2. Anak yang dilahirkan diluar perkawinan. Pasal 43 ayat (1) menentukan bahwa anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. 1Ketentuan ini dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No 46/PUU-VIII/2010. Mengenai hal ini akan dibahas dalam artikel tersendiri.

Pasal 44 UU Perkawinan memberikan hak kepada suami untuk menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya apabila si suami dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak tersebut merupakan akibat dari perzinahan itu. Atas penyangkalan ini pengadilan akan memberikan keputusan mengenai sah atau tidaknya anak tersebut.

Mengenai kedudukan anak, Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, disingkat KUH Per) memiliki pengaturan yang lebih rinci. KUH Perdata membagi kedudukan anak menjadi:

  1. Anak sah (echte kinderen), adalah anak-anak yang tumbuh atau dilahirkan sepanjang perkawinan ayah ibunya. 2R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga (Personen en Familie-Recht), Surabaya: Airlangga University Press, 1991, Hlm. 164.
  2. Anak tidak sah atau anak luar kawin atau anak alami (onwettige, onechte, natuurlijkw kinderen), dibedakan menjadi: 3Ibid., Hlm. 164 – 165
    1. Anak luar kawin yang bukan hasil perselingkuhan (overspelig) atau sumbang (bloedschennis);
    2. Anak zinah (overspelige kinderen) dan sumbang (bloed schennige kinderen).

Selain itu juga dikenal anak adopsi, yaitu anak yang diangkat oleh suami istri sebagai anak mereka yang dianggap sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan suami istri. 4R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press, 1988, Hlm. 112.

Referensi

Referensi
1 Ketentuan ini dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No 46/PUU-VIII/2010. Mengenai hal ini akan dibahas dalam artikel tersendiri.
2 R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga (Personen en Familie-Recht), Surabaya: Airlangga University Press, 1991, Hlm. 164.
3 Ibid., Hlm. 164 – 165
4 R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press, 1988, Hlm. 112.

1 thought on “Kedudukan Anak”

  1. izin menambahkan sedikit….
    Dari pasal 42 undang-undang Nomor 1 tahun 1974 dapat di tarik kesimpulan apabila perkawinan dilaksanakan dengan melalaikan ketentuan agama, maka perkawinan itu disebut perkawinan yang tidak sah, dan hal ini pun akan berimbas kepada kedudukan keturunan yang dihasilkan dari perkawinan tersebut, yakni anak yang tidak sah. Undang-undang nomor 1 tahun 1974 menyatakan Keadaan diatas tentu akan sangat menyedihkan mengingat anak adalah amanah sekaligus karunia Allah Swt yang harus senantiasa dijaga dan dilindungi karena dalam diri anak melekat harkat, martabat, hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi.
    Hak-hak ini merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam undang-undang dasar 1945 dan konferensi perserikatan bangsa-bangsa tentang hak-hak anak.

    Reply

Leave a Comment