Mazhab Sejarah

Mazhab Sejarah (Historische Rechtsschule) atau ada juga yang menyebutnya Mazhab Sejarah dan Kebudayaan (Ciltuur Historich School) merupakan salah satu aliran hukum yang timbul sebagai reaksi terhadap tiga hal:

  1. Rasionalisme abad ke-18 yang hanya mengandalkan jalan pikiran deduktif. Jalan pemikiran pada masa itu didasarkan pada hukum alam, kekuatan akal dan prinsip-prinsip dasar serta tidak memperhatikan fakta sejarah, kekhususan dan kondisi nasional.
  2. Semangat Revolusi Prancis yang menentang wewenang tradisi dengan misi kosmopolitannya.
  3. Pendapat yang berkembang pada masa itu dimana hakim dilarang untuk menafsirkan hukum karena undang-undang dianggap dapat memecahkan semua masalah hukum.

Pelopor Mazhab Sejarah adalah Friedrich Karl von Savigny yang kemudian dikembangkan oleh Puchta dan Henry Summer Maine.

Friedrich Karl von Savigny

Mazhab Sejarah dipelopori oleh seorang ahli hukum bangsa Jerman Friedrich Karl von Savigny. Menurut Savigny di dunia ini terdapat beragam bangsa dimana tiap bangsa memiliki volksgeist atau jiwa bangsanya masing-masing. Aneka ragam jiwa bangsa tersebut dapat dilihat melalui berbagai ragam bahasa, adat istiadat dan organisasi sosial masyarakat yang dimiliki oleh tiap bangsa. Perbedaan jiwa bangsa tersebut juga menimbulkan perbedaan pandangan tentang keadilan.

Savigny memiliki pandangan yang bertolak belakang dengan Aliran Hukum Alam yang memandang bahwa hukum bersifat universal dan abadi. Ia berpendapat bahwa hukum mengalami perubahan sesuai dengan keadaan masyarakat dari masa ke masa, sehingga tidak mungkin ada hukum yang bisa berlaku untuk semua bangsa. Pendapat Savigny juga bertolak belakang dengan Positivisme Hukum. Menurutnya hukum timbul bukan karena perintah penguasa atau karena kebiasaan, tetapi karena perasaan keadilan yang terletak di dalam jiwa bangsa. Hukum tidak dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat.

Ada beberapa catatan yang perlu kita ketahui mengenai pemikiran Savigny:

  1. Jangan sampai kepentingan golongan masyarakat tertentu dianggap sebagai jiwa bangsa dari seluruh masyarakat.
  2. Tidak selamanya peraturan perundang-undangan timbul begitu saja. Misalnya ketentuan mengenai serikat kerja di Inggris yang terwujud melalui perjuangan keras.
  3. Jangan sampai peran hakim dan ahli hukum lainnya tidak mendapat perhatian. Meskipun jiwa bangsa dapat menjadi bahan kasarnya, harus ada yang menyusunnya untuk diproses menjadi bentuk hukum.
  4. Pada banyak kasus peniruan memainkan peranan yang lebih besar. Misalnya banyak bangsa yang secara sadar mengambil alih hukum Romawi dan mendapat pengaruh dari hukum Prancis.

Puchta

Pemikiran Savigny kemudian dikembangkan oleh muridnya Puchta. Menurut Puchta hukum dapat terbentuk:

  1. Secara langsung berupa adat istiadat.
  2. Melalui undang-undang.
  3. Melalui ilmu hukum dalam bentuk karya para ahli hukum.

Puchta membagi pengertian bangsa menjadi dua jenis, yaitu bangsa dalam pengertian etnis yang disebut bangsa alam dan bangsa dalam arti nasional yang merupakan kesatuan organis yang membentuk sebuah negara. Hukum yang sah dimiliki oleh bangsa dalam pengertian nasional (negara), sedangkan bangsa alam hanya memiliki hukum sebagai keyakinan. Keyakinan hukum yang hidup dalam jiwa bangsa harus disahkan melalui kehendak umum masyarakat. Pengesahan hukum tersebut dilakukan dengan cara membentuk undang-undang.

Pemikiran Puchta memiliki kesamaan dengan Teori Absolutisme Negara dan Positivisme Yuridis. Puchta berpandangan bahwa pembentukan hukum dalam suatu negara tidak membuka peluang bagi sumber hukum selain kekuasaan negara, seperti hukum adat dan pemikiran ahli hukum. Praktik hukum dalam adat istiadat bangsa hanya berlaku sebagai hukum sesudah disahkan oleh negara, demikian pula dengan buah pemikiran para ahli hukum memerlukan pengesahan oleh negara agar dapat berlaku sebagai hukum. Di sisi yang lain, pihak yang berkuasa dalam negara tidak membutuhkan dukungan apapun. Ia berhak untuk membentuk undang-undang tanpa memerlukan bantuan para ahli hukum dan tidak perlu menghiraukan apa yang dipraktikkan sebagai adat istiadat.

Henry Summer Maine

Henry Summer Maine merupakan pelopor Mazhab Sejarah di Inggris. Maine mengembangkan pemikiran Savigny melalui studi perbandingan perkembangan lembaga-lembaga hukum yang ada pada masyarakat sederhana dan masyarakat yang telah maju. Penelitiannya membuktikan adanya pola evolusi pada berbagai masyarakat dalam situasi sejarah yang sama.

Referensi

  1. C.S.T. Kansil, 2002, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Balai Pustaka.
  2. Darji Darmodiharjo dan Shidarta, 2006, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
  3. Dewa Gede Sudika Mangku, 2020, Pengantar Ilmu Hukum, Klaten: Lakeisha.

Leave a Comment