Sebelum tahun 1974, pengaturan mengenai perkawinan di Indonesia sangat beragam. Pada masa itu tiap golongan tunduk pada peraturan perkawinan yang berbeda-beda. Pada tanggal 2 Januari 1974 pemerintah negara Republik Indonesia mengundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Upaya unifikasi hukum perkawinan di Indonesia diwujudkan dalam Pasal 66 UU Perkawinan yang menentukan bahwa peraturan-peraturan yang mengatur mengenai perkawinan sejauh telah diatur dalam UU Perkawinan sudah tidak berlaku.
Pengertian perkawinan menurut ketentuan Pasal 1 UU Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka perkawinan terdiri dari lima unsur, yaitu: 1R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press, 1988, Hlm. 38.
- Ikatan lahir batin;
- antara seorang pria dan seorang wanita
- sebagai suami istri
- membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
- berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
Ikatan lahir batin
Ikatan lahir batin berarti ikatan tersebut tidak hanya cukup dengan ikatan lahir saja atau ikatan batin saja. Melainkan keduanya harus terpadu erat 2Ibid. Ikatan lahir adalah ikatan yang dapat dilihat dan menunjukkan bahwa terdapat hubungan hukum antara suami dan istri. Ikatan lahir juga disebut sebagai ikatan formal. Ikatan lahir tersebut mengikat diri suami dan istri, serta pihak ketiga. Sedangkan ikatan batin adalah ikatan yang tidak nampak, suatu ikatan yang hanya dapat dirasakan oleh suami dan istri. 3Ibid.
Antara seorang pria dan seorang wanita
Unsur perkawinan yang kedua ini menunjukkan bahwa perkawinan hanya boleh terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita. Dengan demikian perkawinan antara seorang pria dengan seorang pria adalah tidak dimungkinkan. Demikian juga perkawinan antara seorang wanita dengan seorang wanita juga tidak dimungkinkan. Selain itu unsur kedua ini menunjukkan bahwa UU Perkawinan menganut asas monogami. 4Ibid.
Sebagai suami istri
Ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita dipandang sebagai suami istri apabila telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang. Syarat sahnya suatu perkawinan terbagi menjadi syarat intern dan syarat extern. Syarat intern berkaitan dengan para pihak yang melakukan perkawinan. Sedangkan syarat extern berkaitan dengan formalitas-formalitas yang harus dipenuhi dalam melangsungkan perkawinan. 5Ibid., Hlm, 39.
Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia dan kekal. Keluarga dalam pengertian ini adalah satu kesatuan yang terdiri dari ayah, ibu dan anak(-anak). 6Ibid., Hlm. 42. Suatu keluarga yang dibentuk diharapkan akan memberikan kebahagiaan bagi tiap anggota keluarga. Selain itu diharapkan keluarga yang terbentuk tersebut akan berlangsung untuk selamanya, kecuali dipisahkan oleh kematian.
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
UU Perkawinan menganggap bahwa perkawinan berhubungan erat dengan agama atau kerohanian. 7Ibid., Hlm. 43.Sehingga Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menentukan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.