Tanah Wakaf

Pengertian Tanah Wakaf

Tanah wakaf adalah tanah hak milik yang sudah diwakafkan. 1Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta: Djambatan, 2005, Hlm. 272. Menurut Boedi Harsono, perwakafan tanah hak milik merupakan suatu perbuatan hukum yang suci, mulia dan terpuji yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum, dengan memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah hak milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya menjadi wakaf sosial. 2Ibid., Hlm. 345. Wakaf sosial adalah wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya, sesuai dengan ajaran agama Islam. 3Ibid.

Dasar hukum dari perwakafan tanah milik dapat ditemukan di Pasal 49 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) yang menentukan bahwa perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah yang dimaksud dalam ketentuan tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik (selanjutnya disebut PP 28/1977).

Pengertian wakaf menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) PP 28/1977 adalah sebagai berikut:

Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya seuai dengan ajaran agama Islam.

Unsur-Unsur Perwakafan Tanah

Tanah yang diwakafkan adalah tanah hak milik atau tanah milik yang bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan atau perkara. Sedangkan pihak yang mewakafkan tanah miliknya disebut wakif. Pada umumnya wakif adalah seseorang atau beberapa orang pemilik tanah yang telah dewasa, sehat akalnya dan tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum. Perwakafan tanah milik harus dilakukan atas kehendak sendiri dan tanpa paksaan dari pihak lain.

Selain manusia, badan hukum juga dapat melakukan perwakafan tanah milik, namun hanya badan hukum tertentu yang menguasai tanah hak milik yang dapat mewakafkan tanah miliknya. Badan hukum yang dimaksud adalah bank pemerintah, lembaga keagamaan dan badan sosial, sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) huruf b Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.

Pihak yang bertugas untuk memelihara dan mengurus benda wakaf disebut nadzir. Nadzir dapat berupa perorangan atau badan hukum. Adapun syarat-syarat seorang nadzir adalah sebagai berikut:

  1. warganegara Republik Indonesia;
  2. beragama Islam;
  3. sudah dewasa;
  4. sehat jasmaniah dan rohaniah;
  5. tidak berada di bawah pengampuan;
  6. bertempat tinggal di kecamatan tempat tanah yang diwakafkan.

Apabila nadzir berbentuk badan hukum, syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah:

  1. badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
  2. mempunyai perwakilan di kecamatan tempat letaknya tanah yang diwakafkan.

Selain syarat-syarat tersebut, nadzir juga harus didaftarkan dan mendapat pengesahan di kantor Urusan Agama kecamatan setempat.

Tatacara Perwakafan Tanah

Wakif harus mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan tegas kepada nadzir di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (selanjutnya disebut PPAIW). PPAIW kemudian menuangkan ikrar wakaf ke dalam Akta Ikrar Wakaf dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi. Dalam melaksanakan ikrar wakaf, wakif harus membawa dan menyerahkan kepada PPAIW surat-surat sebagai berikut:

  1. sertipikat hak milik atau tanda bukti pemilikan tanah lainnya
  2. surat keterangan dari Kepala Desa yang diperkuat oleh Kepala Kecamatan setempat yang menerangkan kebenaran pemilikan tanah dan tidak tersangkut suatu sengketa
  3. surat keterangan pendaftaran tanah
  4. izin dari Bupati atau Walikota cq Kepala Sub Direktorat Agraria.

Selanjutnya PPAIW atas nama nadzir akan mengajukan permohonan kepada Bupati atau Walikota cq Kepala Sub Direktorat Agraria untuk mendaftar perwakafan tanah milik tersebut. Kemudian Bupati atau Walikota cq Kepala Sub Direktorat Agraria akan mencatat perwakafan tanah milik pada buku tanah dan sertifikatnya. Apabila tanah milik yang diwakafkan belum mempunyai sertifikat, maka terlebih dahulu akan dibuatkan sertifikatnya. Nadzir kemudian melaporkan selesainya perwakafan ke Kantor Departemen Agama.

Perubahan Perwakafan Tanah

Pada prinsipnya tanah milik yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan terhadap peruntukan atau penggunaannya selain dari apa yang telah ditentukan dalam ikrar wakaf. Namun perubahan peruntukan atau penggunaan tanah milik yang telah diwakafkan dapat dilakukan karena:

  1. tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf sesuai dengan apa yang diikrarkan oleh wakif
  2. kepentingan umum

Perubahan peruntukan tanah wakaf tersebut harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Menteri Agama.

Perlu diketahui bahwa tanah wakaf tidak dapat dijadikan jaminan utang. Hal ini disebabkan karena sifat dan tujuan wakaf yang tidak dapat dipindahtangankan.

Referensi

Referensi
1 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta: Djambatan, 2005, Hlm. 272.
2 Ibid., Hlm. 345.
3 Ibid.

Leave a Comment