Salah satu jenis hak penguasaan atas tanah adalah hak perorangan yang terbagi lagi menjadi hak-hak atas tanah, wakaf dan hak jaminan atas tanah. Menurut ketentuan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), hak-hak atas tanah terdiri dari beberapa jenis, yaitu:
- Hak milik;
- Hak guna usaha;
- Hak guna bangunan;
- Hak pakai;
- Hak sewa;
- Hak membuka tanah;
- Hak memungut hasil hutan;
- Hak-hak lain.
Mengenai hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai akan dibahas dalam artikel tersendiri. Berikut ini penjelasan untuk poin 5 – 8:
Hak Sewa (Pasal 44 – 45 UUPA)
Pasal 44 ayat (1) UUPA memungkinkan orang atau badan hukum untuk menggunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemilik tanah tersebut sejumlah uang sebagai sewa. Pembayaran uang sewa dapat dilakukan sebelum atau sesudah tanah dipergunakan. Pembayaran uang sewa juga dapat dilakukan hanya satu kali atau setiap waktu tertentu. Subyek dari hak sewa adalah:
- Warganegara Indonesia;
- Orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
- Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
- Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
Hak Membuka Tanah dan Hak Memungut Hasil Hutan (Pasal 46 UUPA)
Menurut Boedi Harsono, hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan sebenarnya bukan hak atas tanah dalam arti yang sesungguhnya. Dikatakan demikian karena kedua hak tersebut tidak memberi wewenang untuk menggunakan tanah. 1Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta: Djambatan, 2005, Hlm. 288. Hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan merupakan bentuk pengejawantahan hak ulayat. Tujuan dari dimasukkannya kedua hak ini ke dalam UUPA adalah semata-mata untuk menselaraskan UUPA dengan hukum adat.
Pasal 46 ayat (2) UUPA menentukan bahwa penggunaan hak memungut hasil hutan secara sah tidak dengan sendirinya memberikan hak milik kepada pengguna tersebut. Adapun ketentuan lebih lanjut mengenai hak memungut hasil hutan terdapat di Undang-Undang Pokok Kehutanan.
Hak-Hak Lain
Selain ketujuh hak yang telah disebutkan di atas, masih terdapat hak-hak atas tanah yang bersifat sementara. Hak-hak yang bersifat sementara tersebut antara lain: hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian (Pasal 53 UUPA). Hak-hak tersebut bersifat sementara karena suatu saat lembaga hukum tersebut tidak akan ada lagi. Hal ini disebabkan karena hak-hak tersebut dianggap tidak sesuai dengan asas-asas hukum tanah nasional. 2Ibid., Hlm. 290. Hak gadai, hak usaha bagi hasil dan hak sewa tanah dipandang membuka peluang untuk terjadinya pemerasan, sedangkan hak menumpang juga dianggap bertentangan dengan nilai-nilai hukum agraria Indonesia karena mengandung sisa unsur feodal. 3Ibid., Hlm. 291. Harus diakui hingga saat ini hak-hak tersebut belum sepenuhnya hapus, namun hak-hak tersebut harus tetap diatur untuk mebatasi sifatnya yang bertentangan dengan UUPA. 4Ibid.
Selain hak-hak yang bersifat sementara, UUPA juga membuka peluang untuk terbentuknya hak atas tanah yang baru. Peluang ini disediakan agar UUPA dapat menyesuaikan perkembangan di dalam masyarakat yang bersifat dinamis. Salah satu bentuk hak yang terbentuk setelah berlakunya UUPA adalah hak milik atas satuan rumah susun. Hak milik atas satuan rumah susun sebenarnya bukan hak atas tanah, tapi berkaitan dengan tanah. Hak ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun yang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun. Mengenai hak milik atas satuan rumah susun akan dibahas dalam artikel tersendiri.