Salah satu asas perjanjian adalah asas kebebasan berkontrak. Ini berarti seseorang bebas untuk membuat perjanjian dan mengikatkan diri dengan siapapun, asal tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum. Asas kebebasan berkontrak tersebut dibatasi oleh Pasal 1315 KUH Perdata yang menentukan:
Pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri.
Pasal 1315 KUH Perdata tersebut mengandung pengertian bahwa para pihak tidak boleh mempunyai tujuan untuk atau mengikutsertakan orang lain atau mengikat pihak ketiga selain daripada mereka sendiri. Intinya, suatu perjanjian hanya berlaku dan mengikat para pihak yang membuatnya. Hal ini kemudian dipertegas dalam Pasal 1340 KUH Perdata. Ketentuan inilah yang dikenal dengan asas perjanjian bersifat tertutup. 1Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Bandung: Citra Aditya, 2010, Hlm. 145.
Perjanjian garansi
Meskipun perjanjian bersifat tertutup, namun terdapat beberapa pengecualian yang diatur dalam Pasal 1316 hingga Pasal 1318 KUH Perdata. Pasal 1316 KUH Perdata memuat ketentuan sebagai berikut:
Meskipun demikian adalah diperbolehkan untuk menanggung atau menjamin seorang pihak ke tiga, dengan menjanjikan bahwa orang ini akan berbuat sesuatu, dengan tidak mengurangi tuntutan pembayaran ganti rugi terhadap siapa yang telah menanggung pihak ke tiga itu atau yang telah berjanji, untuk menyuruh pihak ke tiga tersebut menguatkan sesuatu, jika pihak ini menolak memenuhi perikatannya.
Perjanjian yang memuat ketentuan tersebut dikenal dengan istilah perjanjian garansi (garantie overeenkomst). Perjanjian garansi adalah suatu perjanjian yang berisi ketentuan bahwa seseorang berjanji akan menanggung dan/atau menjamin akan memenuhi prestasi yang telah diperjanjikan oleh debitor dari suatu perikatan yang telah terjadi. 2Ibid., Hlm. 156-157. Contoh perjanjian garansi adalah wesel, dimana penerbit wesel berjanji kepada penarik wesel (kreditur wesel) bahwa pihak ketiga (debitur wesel) akan membayar wesel tersebut. 3Komariah, Hukum Perdata, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2002, Hlm. 182.
Perjanjian untuk keuntungan pihak ketiga
Pengecualian lain diatur dalam Pasal 1317 KUH Perdata yang memperbolehkan seseorang untuk membuat janji yang memberikan keuntungan bagi pihak ketiga. Contohnya adalah perjanjian asuransi jiwa yang memberikan keuntungan kepada pihak ketiga. Pihak yang menjanjikan dan memberikan hak kepada pihak ketiga disebut stipulator. Sedangkan pihak lawannya adalah promisor 4Herlien Budiono, Op.Cit., Hlm. 159.
Apabila pihak ketiga belum menyatakan menerima keuntungan yang dijanjikan, maka stipulator berhak untuk menarik janji tersebut. Namun apabila pihak ketiga telah menyatakan menerima keuntungan yang diperjanjikan, maka stipulator tidak dapat menarik kembali janji tersebut. 5Ibid., Hlm. 159-160.
Subyek perjanjian yang diperluas
Pasal 1318 KUH Perdata berisi ketentuan yang memperluas daya kerja perjanjian terhadap ahli waris dan orang-orang yang memperoleh hak dari para pihak:
Jika seorang minta diperjanjikan sesuatu hal, maka dianggap bahwa itu adalah untuk ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak daripadanya, kecuali jika dengan tegas ditetapkan atau dapat disimpulkan dari sifat perjanjian, bahwa tidak sedemikian maksudnya.
Hak yang diperoleh ahli waris sejalan dengan ketentuan Pasal 833 ayat (1) KUH Perdata yang menentukan bahwa segenap ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak, dan segala piutang si yang meninggal. Sedangkan terhadap keuntungan yang diperoleh orang lain, dapat dikelompokkan ke dalam dua alas hak, yaitu:
- Titel umum (alas hak umum), yaitu perolehan seluruh kekayaan dari pemilik sebelumnya. Titel umum dapat terjadi karena warisan dan percampuran harta benda perkawinan 6Ibid., Hlm. 149.
- Titel khusus (alas hak khusus), yaitu perolehan suatu benda tertentu berdasarkan titel tertentu, misalnya karena jual beli. 7Ibid. Contohnya, A membeli sebuah mobil baru dari B dengan perjanjian servis gratis selama 5 tahun. Pada tahun kedua A menjual mobil tersebut kepada C. Dalam hal ini C masih berhak untuk menikmati servis gratis. 8Komariah, Op.Cit., Hlm. 183.
Referensi
↑1 | Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Bandung: Citra Aditya, 2010, Hlm. 145. |
---|---|
↑2 | Ibid., Hlm. 156-157. |
↑3 | Komariah, Hukum Perdata, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2002, Hlm. 182. |
↑4 | Herlien Budiono, Op.Cit., Hlm. 159. |
↑5 | Ibid., Hlm. 159-160. |
↑6 | Ibid., Hlm. 149. |
↑7 | Ibid. |
↑8 | Komariah, Op.Cit., Hlm. 183. |
Syarat kedua sahnya suatu perjanjian adalah adanya kecakapan. Bagaimana kecakapan dalam arti kompetensi, diatur di pasal berapa ya? sebagai contoh: PT A membuat perjanjian dengan PT B tentang pembuatan sebuah kapal, padahal PT A sebagai pemesan tahu persis bahwa PT B tidak memiliki kompetensi (kecakapan) membuat kapal. apakah perjanjian seperti ini dibolehkan, karena berarti PT pasti akan meng-subkontrakkan seluruh pekerjaan pembuatan kapal kepada pihak ketiga yang memiliki kompetensi dalam bidang pembuatan kapal. demikian pertanyaan saya, mohon tanggapannya, terima kasih. salam
maryanto makhdori
thank you jurnal nya
sangat membantu :D
Saya telah menyetujui syarat dan ketentuan yg berlaku