Perikatan yang Bersumber dari Perjanjian

oleh Wibowo Tjokro Tunardy S.H., M.Kn.

Sesuai dengan pembahasan sebelumnya, menurut sumbernya perikatan dibedakan menjadi perikatan yang bersumber dari perjanjian dan perikatan yang bersumber dari undang-undang. Istilah perjanjian berasal dari bahasa Belanda overeenkomst, yang oleh beberapa ahli hukum juga diterjemahkan sebagai persetujuan. Istilah persetujuan digunakan karena untuk terjadinya suatu overeenkomst diperlukan persetujuan dari para pihak. 1P.N.H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2009, Hlm. 330-331. Meskipun demikian, istilah yang paling sering digunakan adalah perjanjian.

Menurut ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata, suatu perjanjian adalah suatu perbuatan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 KUH Perdata dipandang memiliki kelemahan karena:

  1. tidak jelas, karena setiap perbuatan dapat disebut perjanjian;
  2. tidak tampak asas konsensualisme;
  3. bersifat dualisme. 2Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006, Hlm. 243.

Sehingga para ahli hukum memberikan pendapatnya sebagai berikut:

Abdulkadir Muhammad berpendapat:

Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan. 3P.N.H. Simanjuntak, Op.Cit., Hlm. 332.

R. Setiawan berpendapat:

Persetujuan adalah suatu perbuatan hukum, di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. 4Ibid.

Prof. Subekti berpendapat:

Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. 5Ibid., Hlm. 331.

Prof. Wirjono Prodjodikoro berpendapat:

Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu. 6Ibid., Hlm. 331-332.

Referensi

Referensi
1 P.N.H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2009, Hlm. 330-331.
2 Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006, Hlm. 243.
3 P.N.H. Simanjuntak, Op.Cit., Hlm. 332.
4 Ibid.
5 Ibid., Hlm. 331.
6 Ibid., Hlm. 331-332.

Leave a Comment