Salah satu penyebab adanya ketidaksesuaian antara kehendak dan pernyataan adalah karena para pihak tidak menginginkan akibat hukum dari apa yang mereka nyatakan. Hal ini kemudian dituangkan ke dalam suatu perjanjian simulasi. Dapat dikatakan bahwa di antara para pihak telah terjadi persekongkolan untuk secara diam-diam dan secara sadar melakukan suatu tindakan hukum yang menyimpang dari apa yang seharusnya terjadi. 1Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Bandung: Citra Aditya, 2010, Hlm. 86.
Lebih lengkapnya, menurut Herlien Budiono, SImulasi adalah:
satu atau serangkaian perbuatan melalui mana dua atau lebih pihak mengesankan telah terjadi suatu tindakan hukum tertentu, padahal secara diam-diam disepakati bahwa di antara mereka tidak akan terbentuk perjanjian atau akibat hukum apa pun dari simulasi yang dilakukan. 2Ibid. Hlm. 87.
Agar dapat dikatakan telah terjadi suatu simulasi atau perbuatan hukum pura-pura, diperlukan adanya penyimpangan antara kehendak dan pernyataan yang menimbulkan kesan bahwa seolah-olah telah terjadi suatu perjanjian tertentu. Namun secara rahasia para pihak membuat perjanjian kedua yang menyatakan bahwa tidak terjadi akibat hukum dari perbuatan hukum yang mereka lakukan sebelumnya. 3Ibid.
Berdasarkan keadaan yuridis dari perbuatan hukum yang ingin disembunyikan akibat hukumnya dari pihak ketiga, maka perjanjian simulasi dapat dibagi menjadi:
- Perjanjian simulasi absolut, yaitu perjanjian simulasi yang terjadi jika para pihak memperlihatkan dan memberi kesan kepada pihak ketiga bahwa telah terjadi suatu perbuatan hukum tertentu, padahal secara rahasia mereka telah saling berjanji bahwa sebenarnya tidak terjadi perubahan dari keadaan semula. 4Ibid., Hlm. 89.
Contohnya adalah A yang terancam akan dinyatakan pailit menghibahkan barang-barangnya kepada B. Namun secara diam-diam A dan B membuat perjanjian bahwa sebenarnya di antara mereka tidak terjadi peralihan hak. - Perjanjian simulasi relatif, adalah perjanjian simulasi yang terjadi jika oleh para pihak dibuat perjanjian yang sebenarnya ditujukan untuk memunculkan suatu akibat hukum, namun perjanjian tersebut dibuat dengan mengikuti bentuk lain dari yang seharusnya dibuat. 5Ibid.
Contohnya adalah para pihak membuat perjanjian jual beli. Namun sebenarnya yang diinginkan oleh para pihak adalah perjanjian hibah.
Tidak selamanya perjanjian simulasi menimbulkan kerugian bagi pihak ketiga. 6Ibid., Hlm. 87. Sebagai contoh, A yang kalah berjudi dari B membuat perjanjian utang piutang yang seolah-olah mengesankan bahwa A telah meminjam sejumlah uang dari B. Namun sebenarnya tidak demikian. Perjanjian seperti ini dibuat tanpa maksud untuk merugikan pihak ketiga.
Pada prinsipnya, perjanjian simulasi tidak berlaku terhadap pihak ketiga. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 1873 KUH Perdata. Namun ketentuan ini hanya berlaku apabila pihak ketiga secara beritikad baik tidak mengetahui adanya perjanjian simulasi tersebut. 7Ibid., Hlm. 90.
apakah perjanjian simulasi sah atau tidak, melanggar hukum atau tidak ?
sy sangat membutuhkan jawaban anda, terima kasih…