Sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian, kesepakatan memegang peran penting dalam proses terbentuknya suatu perjanjian. Kita dapat dengan mudah mengenali terjadinya kesepakatan apabila terdapat kesesuaian antara penawaran dan penerimaan. Namun akan timbul suatu masalah apabila tidak terdapat kesesuaian antara penawaran dan penerimaan. Misalnya terdapat kesalahan dalam menuliskan jumlah pesanan.
Ada beberapa teori yang berusaha untuk menjelaskan hal tersebut, yaitu teori kehendak, teori pernyataan, dan teori kepercayaan. 1Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Bandung: Citra Aditya, 2010, Hlm. 76. Berikut ini penjelasan dari ketiga teori tersebut:
Teori kehendak (wilstheorie)
Menurut teori kehendak, faktor yang menentukan adanya perjanjian adalah kehendak. Meskipun demikian, terdapat hubungan yang tidak terpisahkan antara kehendak dan pernyataan. Oleh karena itu suatu kehendak harus dinyatakan. Namun apabila terdapat ketidak sesuaian antara kehendak dan pernyataan, maka tidak terbentuk suatu perjanjian. 2Ibid., Hlm. 76-77.
Kelemahan dari teori ini adalah akan timbul kesulitan apabila terdapat ketidak sesuaian antara kehendak dan pernyataan. Karena dalam kehidupan sehari-hari seseorang harus mempercayai apa yang dinyatakan oleh orang lain. 3Ibid., Hlm. 79.
Teori pernyataan (verklaringstheorie)
Menurut teori pernyataan, pembentukan kehendak terjadi dalam ranah kejiwaan seseorang. Sehingga pihak lawan tidak mungkin mengetahui apa yang sebenarnya terdapat di dalam benak seseorang. Dengan demikian suatu kehendak yang tidak dapat dikenali oleh pihak lain tidak mungkin menjadi dasar dari terbentuknya suatu perjanjian. 4Ibid., Hlm. 77.
Agar suatu kehendak dapat menjadi perjanjian, maka kehendak tersebut harus dinyatakan. Sehingga yang menjadi dasar dari terikatnya seseorang terhadap suatu perjanjian adalah apa yang dinyatakan oleh orang tersebut. 5Ibid. Lebih lanjut menurut teori ini, jika terdapat ketidak sesuaian antara kehendak dan pernyataan, maka hal ini tidak akan menghalangi terbentuknya perjanjian. 6Ibid., Hlm. 18.
Teori pernyataan lahir sebagai jawaban terhadap kelemahan teori kehendak. Namun teori ini juga memiliki kelemahan. Karena teori pernyataan hanya hanya berfokus pada pernyataan dan tidak memperhatikan kehendak seseorang. Sehingga terdapat potensi kerugian yang terjadi apabila tidak terdapat keseuaian antara kehendak dan pernyataan.7Ibid., Hlm.80.
Misalnya seseorang menjual mobil yang harga pasarannya adalah Rp. 100.000.000,-. Namun karena suatu hal, ia menuliskan angka Rp. 10.000.000,- pada surat penawarannya. Apabila kita berpatokan pada teori pernyataan, maka penjual akan mengalami kerugian yang sangat besar karena kesalahan penulisan tersebut.
Teori kepercayaan (vertrouwenstheorie)
Teori kepercayaan berusaha untuk mengatasi kelemahan dari teori pernyataan. Oleh karena itu teori ini juga dapat dikatakan sebagai teori pernyataan yang diperlunak. 8Ibid., Hlm. 78. Menurut teori ini, tidak semua pernyataan melahirkan perjanjian. Suatu pernyataan hanya akan melahirkan perjanjian apabila pernyataan tersebut menurut kebiasaan yang berlaku di dalam masyarakat menimbulkan kepercayaan bahwa hal yang dinyatakan memang benar dikehendaki. 9Ibid. Atau dengan kata lain, hanya pernyataan yang disampaikan sesuai dengan keadaan tertentu (normal) yang menimbulkan perjanjian. 10Ibid., Hlm. 80. Lebih lanjut menurut teori ini terbentuknya perjanjian bergantung pada kepercayaan atau pengharapan yang muncul dari pihak lawan sebagai akibat dari pernyataan yang diungkapkan. 11Ibid., Hlm. 79.
Referensi
↑1 | Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Bandung: Citra Aditya, 2010, Hlm. 76. |
---|---|
↑2 | Ibid., Hlm. 76-77. |
↑3 | Ibid., Hlm. 79. |
↑4 | Ibid., Hlm. 77. |
↑5 | Ibid. |
↑6 | Ibid., Hlm. 18. |
↑7 | Ibid., Hlm.80. |
↑8 | Ibid., Hlm. 78. |
↑9 | Ibid. |
↑10 | Ibid., Hlm. 80. |
↑11 | Ibid., Hlm. 79. |