Sebagaimana telah disebutkan dalam artikel Pengertian Perkawinan, salah satu unsur perkawinan adalah seorang pria dan seorang wanita. Unsur ini menunjukkan adanya asas monogami yang dianut dalam UU Perkawinan (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) juga menganut asas monogami. Namun latar belakang berlakunya asas monogami pada kedua peraturan tersebut berbeda. Burgerlijk Wetboek menganut asas monogami karena dilatarbelakangi oleh pandangan agama Kristen. Dalam pandangan umat Nasrani, perkawinan adalah sebuah sakramen, sehingga ikatan tersebut tidak dapat diputuskan oleh manusia. Hanya kematian yang dapat mengakhri perkawinan. Sedangkan berlakunya asas monogami pada UU Perkawinan dilatarbelakangi oleh perjuangan wanita Indonesia yang berupaya untuk melindungi kaum mereka dari praktek poligami. 1R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press, 1988, Hlm. 3.
Asas monogami yang dianut dalam UU Perkawinan tampak jelas dalam Pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan yang menentukan bahwa pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Namun ayat (2) ketentuan tersebut membuka peluang bagi seorang suami untuk berpoligami. Pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan menentukan bahwa pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Formalitas untuk beristri lebih dari satu orang ini diatur dalam Pasal 4 dan 5 UU Perkawinan. Yaitu harus dengan mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Izin untuk berpoligami akan diberikan oleh Pengadilan apabila:
- istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
- istri mendapat cacat badan/atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
- istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut:
- adanya perjanjian (persetujuan) dari istri/istri-istri. Namun persetujuan tersebut tidak diperlukan apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama paling kurang 2 tahun, atau karena sebab-sebab lain yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
- adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
- adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.
Referensi
↑1 | R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press, 1988, Hlm. 3. |
---|