Pencegahan Perkawinan (Stuiten Des Huweluks)

Pencegahan atau stuiting adalah suatu usaha yang digunakan untuk menghindari terjadinya perkawinan yang bertentangan dengan ketentuan undang-undang. 1R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga (Personen en Familie-Recht), Surabaya: Airlangga University Press, 1991, Hlm. 26. Mengenai pencegahan perkawinan diatur dalam Pasal 13 – Pasal 21 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan).

Suatu perkawinan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pihak-pihak yang dapat mencegah perkawinan adalah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali, pengampu dari salah seorang calon mempelai. Mereka juga dapat mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah satu calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan adanya perkawinan, akan menimbulkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya.

UU Perkawinan juga memberi kesempatan kepada istri atau suami dari salah satu calon mempelai yang masih terikat perkawinan dengan salah satu calon mempelai untuk mencegah berlangsungnya perkawinan, tentunya dengan memperhatikan adanya izin untuk berpoligami. Selain itu pihak yang dapat mencegah perkawinan adalah pejabat yang ditunjuk, dalam hal:

  1. Pihak pria belum mancapai umur 19 tahun dan/atau pihak wanita belum mencapai umur 16 tahun.
  2. Terdapat larangan perkawinan (baca artikel Syarat-Syarat Sahnya Suatu Perkawinan).
  3. salah satu atau kedua calon mempelai masih terikat perkawinan dengan orang lain.
  4. Kedua calon mempelai dahulu merupakan suami dan istri yang telah cerai, kemudian kawin lagi, lalu bercerai untuk kedua kalinya.
  5. Tidak dipenuhinya tata cara pelaksanaan perkawinan.

Menurut ketentuan Paasal 64 Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), mantan suami dari calon mempelai wanita yang perceraiannya belum melewati masa tunggu berhak untuk mencegah perkawinan. Ketentuan ini dipandang masih berlaku karena tidak diatur dalam UU Perkawinan. 2Komariah, Hukum Perdata, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2002, Hlm. 49. Namun mengenai masa tunggu menyesuaikan ketentuan yang terdapat di Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut ketentuan tersebut masa tunggu yang dimaksud adalah tiga kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari bagi yang masih berdatang bulan dan 90 hari bagi yang tidak berdatang bulan.

Pecegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan kepada pegawai pencatat perkawinan. Selanjutnya pegawai pencatat perkawinan akan memberitahukan adanya pencegahan perkawinan kepada para calon mempelai. Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan Pengadilan atau dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan yang mencegah.

Pasal 19 UU Perkawinan menentukan bahwa perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut. Selain itu, meskipun tidak ada pencegahan, pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan untuk melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan apabila ia mengetahui bahwa terdapat pelanggaran yang berupa:

  1. Pihak pria belum mancapai umur 19 tahun dan/atau pihak wanita belum mencapai umur 16 tahun.
  2. Terdapat larangan perkawinan.
  3. salah satu atau kedua calon mempelai masih terikat perkawinan dengan orang lain.
  4. Kedua calon mempelai dahulu merupakan suami dan istri yang telah cerai, kemudian kawin lagi, lalu bercerai untuk kedua kalinya.
  5. Tidak dipenuhinya tata cara pelaksanaan perkawinan.

Referensi

Referensi
1 R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga (Personen en Familie-Recht), Surabaya: Airlangga University Press, 1991, Hlm. 26.
2 Komariah, Hukum Perdata, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2002, Hlm. 49.

Leave a Comment