Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1947 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) menentukan bahwa anak yang belum memncapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali. UU Perkawinan hanya mengenal satu jenis wali, yaitu wali yang ditunjuk oleh salah satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua sebelum ia meninggal. Cara penunjukan wali menurut ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Perkawinan adalah melalui surat wasiat atau secara lisan di hadapan dua orang saksi.
Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, disingkat KUH Perdata) mengenal beberapa jenis perwalian, yaitu: 1R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga (Personen en Familie-Recht), Surabaya: Airlangga University Press, 1991, Hlm. 223 – 225.
- Perwalian oleh suami atau istri yang hidup terlama.
- Perwalian yang ditunjuk oleh ayah atau ibu dengan suatu testamen ata akata khusus.
- Perwalian yang diangkat oleh hakim.
Menurut Pasal 51 ayat (2) UU Perkawinan, wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik. Adapun kewajiban dari seorang wali adalah:
- Mengurus anak yang di bawah penguasaannya dan harta benda si anak dengan sebaik-baiknya dengan menghormati agama dan kepercayaan anak tersebut.
- Membuat daftar harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya pada saat perwalian dimulai dan mencatat semua perubahan harta benda anak tersebut.
- Bertanggung jawab mengenai harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya.
- Wali juga tidak diperbolehkan untuk memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anak yang berada di bawah perwaliannya, kecuali apabila kepentingan si anak menghendakinya.
Kekuasaan wali dapat dicabut apabila ia melalaikan kewajibannya dan/atau berkelakuan buruk sekali. Selanjutnya pengadilan akan menunjuk orang lain untuk untuk menjadi wali anak tersebut. Apabila kekuasaan wali menimbulkan kerugian terhadap harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya, maka anak atau keluarga anak melalui keputusan Pengadilan dapat mewajibkannya untuk mengganti kerugian yang ditimbulkan.
Referensi
↑1 | R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga (Personen en Familie-Recht), Surabaya: Airlangga University Press, 1991, Hlm. 223 – 225. |
---|
Izin tambahan sedikit…
Dalam hukum adat, perwalian terjadi apabila kedua orang tua dari anak tersebut telah meninggal dunia anak tersebut belum dewasa. Jika kedua orang tuanya telah meninggal dunia, anak menjadi yatim-piatu, dan anak-anak tidak lagi di bawah kekuasaan orang tuanya, mereka akan berada di dalam perwalian dan perwalian akan terjadi dengan sendirinya. Tentang perwalian ini, berbeda- beda untuk masing-masing corak kekeluargaan.
izin menambahkan sedikit…..
Dalam kasus tertentu, wali ditunjuk dengan proses adat. Dimana wali tersebut, ditentukan oleh pihak keluarga dan tokoh masyarakat yang dilaksanakan di meunasah (tempat ibadah) di pedesaan tersebut, yang melibatkan para tetua gampong (tertua desa) untuk mengkonfirmasi mengenai pengangkatan seorang wali dalam keluarga tertentu. Namun dalam kasus-kasus yang dipersengketakan maka penunjukan wali diberi kewenangan kepada geuchik (kepala desa) dan/atau imeum meunasah (imam)